Siapa
tau, Jepang yamg dulunya hancur lebur oleh bom atom yang di hujamkan
oleh Amerika di pusat kota Hiroshima dan Nagasaki itu. Tidak membuat
mereka putus asa dan menyerah begitu saja. Negara dengan sebutan
Matahari Terbit ini mempunyai sebuah Gunung yang di keramatkan oleh
orang-orang jepang yang bernama “FUJIYAMA atau GUNUNG FUJI” yang
sebenarnya tidak begitu jelas maknanya. Ada pendapat bahwa kata tersebut
berarti ‘tanpa tandingan’, kemudian ada pendapat lain, bahwa kata fuji
berakar dari kata fuchi [yang artinya api]. Namun pendapat ini ditentang
oleh para ahli bahasa Jepang. Salah satu pendapat yang paling terkenal
adalah bahwa kata fuji memiliki makna ‘keabadian’ atau ‘immortality’.
‘Fuji’ sebagai keabadian muncul dalam legenda Kaguya-hime [Kaguya-hime
no monogatari](karashi-san.blogspot.com. Jumat, 15 Mei 2009).
Gunung ini adalah simbol pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang
untuk terus berpikir kreatif, terlebih ketika keadaan kian mustahil.
Inilah salah satu mengapa orang Jepang sukses menguasai dunia meski
memiliki segunung kekurangan. Fakta itulah yang diungkapkan Ann Wan Seng dalam bukunya, Rahasia Bisnis Orang Jepang: Belajar dari Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia (terbitan 2006).
Dalam buku itu Wan Seng menggambarkan bagaimana orang Jepang yang berfisik kecil bisa mengalahkan mereka yang berasal dari Barat. Setelah bom atom Amerika menghunjam di jantung kota Jepang pada 1945, semua pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera bangkrut. Namun, prediksi itu meleset. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat Jepang menempati posisi kedua tertinggi di dunia. Pada pertengahan era 1990-an, produk nasional bruto (PNB) Jepang mencapai USD37,5 miliar. Angka tersebut sekaligus menempatkan posisi Jepang di belakang Swiss yang memiliki PNB tertinggi di dunia sebesar USD113,7 miliar. Selain itu, Jepang tidak memiliki utang luar negeri. Tidak seperti negara kita yang hanya mendapat Rp 23,4 juta atau US$ 2.499,5 di tahun 2009.
Dalam pandangan orang Jepang, kekalahan dapat ditebus dengan kemenangan
dan keberhasilan dalam bidang lain. Bangsa Jepang tidak pernah menyerah
dengan segala kekurangan dan kelemahan. Meski memiliki sumber daya alam
yang sedikit, gempa sering mengancam, orang Jepang berupaya menggunakan
segala potensi yang ada untuk membangun negaranya agar sebanding dengan
negara yang kaya dengan sumber alam. "Sedangkan negara kita yang
mempunya sumber daya alam yang melimpah hanya bisa pesimis sambil
meratapi nasib dan hanyamengharapkan perubahan yang instant saja", Rizal Dwi Prayogo, (5/5 2010).
Orang
Jepang pandai menempatkan dan memanipulasi segala sumber yang ada
sebaik mungkin. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak dan tidak
menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang
tersebut. Sejatinya, faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada
etos kerja, kreativitas, dan paradigma pantang menyerah. Bangsa Jepang
dinilai rajin dan optimistis. Prinsip kesungguhan, disiplin ketat,
usaha, dan semangat kerja keras (spirit bushido) rakyat Jepang
diwariskan secara turun-temurun. Menurut JANSEN HULMAN SINAMO
Jepang terkenal dengan etos Samurai, (1) bersikap benar dan
bertanggungjawab, (2) berani dan ksatria, (3) murah hati dan mencintai,
(4) bersikap santun dan hormat, (5) bersikap tulus dan sungguh-sungguh,
(6) menjaga martabat dan kehormatan, dan (7) mengabdi pada bangsa. Bagaimana dengan Indonesia? Mengutip Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia Indonesia [1977],
‘etos kerja’ orang Indonesia adalah (1) Munafik atau hipokrit. Suka
berpura-pura, lain di mulut lain di hati; (2) Enggan bertanggung jawab.
Suka mencari kambing hitam; (3) Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka
dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada
prestasi; (4) Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5)
Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan
gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif,
yaitu (6) Artistik; dekat dengan alam. *TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)*.
Rentetan
bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, ditambah adanya gempa
bumi besar di Tokyo. Namun, ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa
tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri automotif dan
bahkan kereta cepat (shinkansen). Sebenarnya, etos dan budaya
kerja orang Jepang tidak jauh beda dengan bangsa Asia lain seperti China
dan Korea yang juga pekerja keras. Namun, mengapa bangsa Jepang lebih
berhasil dan maju dibandingkan bangsa Asia lain?
Ternyata,
orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap
bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberi tugas pekerjaan yang
berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan
perusahaan mendapat keuntungan besar, otomatis mereka akan mendapatkan
balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada
keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan
seluruh komitmen pada pekerjaan. Bahkan sampai-sampai mereka rela
mentaruhkan nyawanya demi pekarjaan.
Untuk
melancarkan urusan pekerjaan, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat
waktu dengan tertib dan disiplin. Kedua elemen itu menjadi dasar
kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Seperti pahlawan
dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus
memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, senantiasa bergerak cepat
menghadapi perubahan di sekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak,
ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena
gagal mempertahankan diri dari serangan musuh. Sebab ia tidak bergerak
dan hanya dalam keadaan statis. Ketika para pekerja di negara-negara
Barat mengalami penurunan produktivitas, di Jepang justru tampak
prestasi yang menakjubkan. Pada 1975 misalnya, setiap sembilan hari
seorang pekerja Jepang menghasilkan sebuah mobil seharga 1.000
poundsterling. Sementara pekerja di perusahaan Leyland Motors, Inggris,
membutuhkan 47 hari untuk menghasilkan mobil dengan harga yang sama.
Seorang pekerja di Jepang rata-rata dapat melakukan pekerjaan yang
seharusnya dilakukan enam sampai tujuh orang di negara lain. Jika jepang
bekarja selama 47 hari maka yang dihasilkan adalah 5.222,2
poundsterling.
Selain
itu, budaya malu di Jepang juga menjadi faktor yang cukup menentukan
keberhasilan. Malu adalah budaya leluhur dan turun-temurun bangsa
Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke
perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dalam
pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke
fenomena ”mengundurkan diri” bagi para pejabat yang terlibat masalah
korupsi atau merasa gagal menjalankan tugas. Aku sangat mengeluh dan
malu dengan kondisi bangsa indonesia yang munafik, suka berpura-pura,
lain dimulut lain di hati. Tidak bertanggung jawab dan tidak punya malu.
Salain
itu juga budaya membaca sangat berpengaruh pada kemajuan jepang.
Disebutkan dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000 bahwa,
minat tingkat baca masyarakat Jepang umumnya sudah mencapai 99,0 persen
dan sama seperti negara-negara maju seperti Australia, Inggris, Jerman,
dan AS. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, tapi angka baca
orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen.
Di Jepang pada setiap densya
(kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun
dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri,
banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Hal lain yang
cukup menarik adalah hingga saat ini orang Jepang relatif menghindari
berkata ”tidak” apabila mendapat tawaran dari orang lain.
Terus
kapan Indonesia seperti jepang? Apakah indonesia akan terus bangga
dengan budaya-budaya malas dan korupsinya? Aku berharap Indonesia
benar-benar tegas dengan hal-hal sedemikian rupa. Hiduplah Indonesiaku!!
Sumber: http://shounen15.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar